Pasal19 dalam Konstitusi RIS menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat. Kebijakan pers yang bersifat positif pun ditetapkan oleh pemerintah Indonesia. Salah satu kebijakan ini ialah pembentukan Dewan Pers yang beranggotakan jurnalis, cendekiawan, dan pejabat pemerintah.
Kebebasanberpendapat dan berekspresi merupakan salah satu aspek penting demokrasi. Negara yang demokratis tercermin dari adanya perlindungan terhadap kebebasan berkumpul, mengemukakan 1pendapat, dan diskusi terbuka.
Vay Nhanh Fast Money. Wujud kebebasan berpendapat bagi seluruh rakyat Indonesia tercermin dalam? munculnya banyak partai politik dalam masyarakat maraknya demonstrasi mengecam kebijakan pemerintah pelaksanaan pemilu yang sarat KKN mengirimkan surat kepada presiden menyampaikan aspirasi melalui DPR Jawaban A. munculnya banyak partai politik dalam masyarakat Dilansir dari Encyclopedia Britannica, wujud kebebasan berpendapat bagi seluruh rakyat indonesia tercermin dalam munculnya banyak partai politik dalam masyarakat. Kemudian, saya sangat menyarankan anda untuk membaca pertanyaan selanjutnya yaitu Yang bukan termasuk dalam pendapat John Locke tentang Kekuasaan adalah? beserta jawaban penjelasan dan pembahasan lengkap.
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Pendiri Indonesia sejak dulu menginginkan Indonesia ini menyerahkan kedaulatan kepada rakyatnya. Hal ini sejalan dengan ideologi liberal yang selalu berkaitan dengan demokrasi. Demokrasi di Indonesia sendiri mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Mulai dari demokrasi liberal atau parlementer, terpimpin hingga Indonesia menemukan ramuan yang pas dan sesuai dengan jati diri bangsa yaitu demokrasi Pancasila. Demokrasi Pancasila ini juga mengalami perkembangan yaitu menjadi demokrasi Pancasila era reformasi. Demokrasi adalah pemerintahan yang rakyatnya memiliki kesempatan yang sama. Rakyat diberi kebebasan dalam memilih pimpinan mereka. Oleh karena itu, di negara demokrasi dilakukanlah pemilu sebagai bentuk kebebasan rakyat dalam memilih pemimpinnya. Pemilu ini dilakukan setiap 3-6 tahun sekali sesuai dengan jabatan pemimpin yang dipilih. Kenapa tahunnya berbeda ? karena setiap jabatan pemerintah memiliki masa periode yang berbeda. Mulai dari kepala desa yang periode jabatannya sekarang menjadi 6 tahun, bupati memimpin selama 3 tahun, gubernur selama 5 tahun, anggota dewan perwakilan rakyat DPR selama 5 tahun serta presiden dan wakil presiden menjabat selama 5 tahun. Pemilu dilaksanakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya sering terjadi politik uang. Demokrasi identik dengan kebebasan yang rakyatnya bebas dalam berbicara, berekspresi dan kebebasan pers. Negara seharusnya menjamin kebebasan tersebut di samping pemerintah juga menjamin hak ekonomi, sosial dan lainnya. Kebebasan berekspresi ini dapat dilakukan oleh berbagai kalangan mulai dari pelajar, mahasiswa, ibu rumah tangga dan berbagai profesi bebas dalam bersuara terutama tentang kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah. Masyarakat seharusnya mengawal kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah sebagai bentuk evaluasi kebijakan yang diambil apakah efektif atau tidak. Pemerintah sudah seharusnya mendengarkan pendapat rakyatnya dan menjadikannya sebagai pertimbangan dalam kebijakan yang akan diambil. Ketika pemerintah mulai membatasi masyarakatnya dalam berekspresi maupun berpendapat dapat dikatakan bahwa pemerintahan tersebut otoriter. Namun, kebebasan berpendapat ini sendiri tidak selalu berjalan mulus. Kebebasan berpendapat di sini tidak diberikan tanpa batas melainkan dibatasi oleh kebebasan berpendapat orang lain. Oleh karena itu, kita harus berhati hati dalam mengeluarkan pendapat kita. Media merupakan wadah dalam kita melakukan kebebasan berekspresi dan berpendapat. Media komunikasi sekarang ini telah berkembang dengan sangat pesat sehingga siapa pun dapat mengakses informasi dengan mudah. Hal ini bisa digunakan masyarakat dalam menyuarakan pendapat mereka. Namun, tulisan atau pendapat kita nantinya harus dapat dipertanggungjawabkan untuk itu kita harus memperhatikan beberapa hal seperti kebenarannya dengan fakta. Sebelum memberikan pendapat sebaiknya kita harus benar-benar memahami topik yang akan kita bahas nantinya. Selain itu kita harus melihat sesuai dengan fakta yang terjadi di lapangan. Jangan memberikan pendapat karena masalah yang tidak ada sebenarnya atau bahkan tidak pernah terjadi. Ketika berpendapat kita juga harus memperhatikan penggunaan kata kita apakah akan menyakiti orang lain atau bahkan dapat menimbulkan perpecahan nantinya. Kita harus berpendapat secara cerdas dengan memperhatikan berbagai aspek yang ada. Tulisan yang berisi kebohongan dapat menyebarkan keresahan bagi masyarakat. Hal ini sangat ditentang oleh UU sehingga nantinya dapat dijerat pasal undang-undang yang berlaku. Kebebasan berpendapat di Indonesia ini mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Pada zaman orde baru kebebasan berpendapat terbelenggu dengan kekuasaan yang ada. Bahkan pada masa ini terjadi pelarangan 5 buku beredar di pasaran. Hal ini tentunya berdampak bagi informasi yang seharusnya dapat diakses oleh masyarakat menjadi terhadap. Pelarangan ini didasari oleh keputusan jaksa agung pada masa itu. Jaksa menganggap bahwa kelima buku tersebut bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan kebebasan berekspresi dan berpendapat sendiri juga diatur dalam undang-undang. Selain kelima buku tersebut kejaksaan agung juga melarang beredarnya buku sejarah kurikulum 2004. Buku sejarah tersebut dianggap dapat menimbulkan keresahan masyarakat untuk itu peredarannya dilarang kala itu. Sebenarnya pelarangan buku ini bukan merupakan suatu hal baru lagi di Indonesia. Masa ke masa tentunya memiliki ceritanya tersendiri terkait pelarangan ini. Motif selalu sama yaitu dengan dalih dapat menimbulkan keresahan masyarakat. Padahal hal ini merupakan cara dari para penguasa untuk terus mempertahankan kekuasaan mereka. Hal ini merupakan ciri dari kepemimpinan yang otoriter. Memasuki periode reformasi pelarangan buku beredar masih terjadi. Hal ini membuktikan bahwa cukup sulit menghilangkan kebiasaan tersebut di negara ini. Hal ini tentunya cukup mencederai demokrasi yang ada di Indonesia. Indonesia yang merupakan negara demokrasi yang besar cukup menyakitkan jika tetapi melakukan pelarangan peredaran buku. Hingga sekarang kebebasan berpendapat masih sering pincang dalam implementasinya di masyarakat. Banyak kasus orang yang lantang menyuarakan pendapatnya tentang perkembangan pemerintahan maupun keadilan di Indonesia ini mengalami teror-teror yang tidak diketahui pelakunya. Meskipun begitu itu bukan menjadi halangan untuk kita terus berekspresi. Selama apa yang kita sampaikan itu merupakan sesuatu hal yang benar dan sesuai dengan fakta di lapangan kita seharusnya tidak gentar dalam menyuarakan pendapat kita. Indonesia tidak pernah kekurangan orang baik tetapi Indonesia butuh orang baik untuk terus bersuara. Kebebasan berekspresi merupakan bagian dari demokrasi negara ini. Untuk itu mari terus berpendapat yang cerdas dan bijak sebagai ciri masyarakat dari negara demokrasi. mari tetap mengawal hal ini sehingga Indonesia dapat menjadi negara yang lebih maju. Teruslah berekspresi selama berada di jalan yang benar tentunya akan ada yang menjamin hal referensi Yusuf, Iwan. Wisnu Martha Adiputra. Masduki. Puji Rianto., dan Saifudin Zuhri. 2010. Pelarangan Buku di Indonesia. Yogyakarta Pemantau Regulasi dan Regulator Media PR2Media bekerja sama dengan Friedrich Ebert Stiftung FES. Lihat Sosbud Selengkapnya
Ketentuan Kebebasan Berpendapat Dalam UUD Senin, 14 Desember 2020 1042 WIB Video Cetak Dibaca 11028958 Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menjadi narasumber Seminar Nasional yang diadakan Fakultas Syariah UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, pada Jumat 11/12 di Gedung MK. Foto Humas/Panji. JAKARTA, HUMAS MKRI - Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menjadi narasumber Seminar Nasional Fakultas Syariah UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, pada Jumat 11/12/2020 secara virtual. Dalam acara tersebut, Wahid mengatakan bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi berlaku untuk semua jenis ide, termasuk yang mungkin sangat offensive atau menyinggung, namun disertai dengan tanggung jawab dan dapat dibatasi secara sah oleh Pemerintah. Dalam hal ini, sambungnya, Pemerintah memiliki kewajiban untuk melarang perkataan yang mendorong kebencian dan hasutan. Pembatasan tersebut juga dapat dibenarkan apabila pembatasan tersebut dilakukan untuk melindungi kepentingan publik tertentu atau hak dan reputasi orang lain. “Setiap pembatasan kebebasan berpendapat dan kebebasan berekspresi haruslah diatur oleh suatu undang-undang yang sifatnya jelas dan ringkas, sehingga setiap orang dapat memahaminya, Pihak yang memberlakukan pembatasan tersebut haruslah mampu menunjukkan kebutuhannya dan harus dapat bersikap proporsional. Serta pembatasan tersebut harus didukung oleh pengamanan untuk menghentikan adanya penyalahgunaan atas pembatasan tersebut dan memasukkan proses hukum yang tepat,” ujar Wahiduddin. Menurut Wahiduddin, sebagai suatu negara, Indonesia memiliki kewajiban untuk melindungi, memajukan, menegakkan, dan memenuhi hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi tersebut, sebagai salah satu bagian dari hak asasi manusia, sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 28I ayat 4 UUD 1945. Namun demikian, meskipun bersifat fundamental, hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi tersebut bukanlah hak yang bersifat di Amerika Serikat, sebagai salah satu negara yang memiliki perlindungan konstitusional terkuat untuk kebebasan berpendapat atau berbicara di negara manapun di dunia, tetap terdapat batasan-batasan yang berlaku. Indonesia sebagai suatu negara hukum yang demokratis, berbentuk republik, dan berkedaulatan rakyat, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia sebagaimana telah ditentukan dalam UUD 1945, tidak relevan lagi jika dalam KUHP masih memuat pasal-pasal tersebut, yang mana mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum. Sehingga, dalam RUU KUHPidana yang merupakan upaya pembaharuan KUHPidana warisan kolonial juga harus tidak lagi memuat pasal-pasal yang isinya sama atau mirip dengan pasal-pasal tersebut. Terlebih lagi, ancaman pidana terhadap pelanggaran Pasal 134 paling lama enam tahun penjara dapat dipergunakan untuk menghambat proses demokrasi khususnya akses bagi jabatan-jabatan publik yang mensyaratkan seseorang tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. Selain itu, terhadap delik penghinaan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut KUHP sudah ada pada Pasal 310 dan Pasal 321 KUHPidana, manakala penghinaan ditujukan dalam kualitas pribadinya, dan Pasal 207 KUHPidana dalam hal penghinaan ditujukan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden selaku pejabat. Lebih lanjut Wahiduddin mengatakan, sampai pada titik ini, mungkin ada yang merasa bingung, apabila Mahkamah memang menghormati dan mengakui hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi sebagai salah satu hak asasi manusia. Dalam menjalankan hak asasi manusia, diri kita terikat dengan suatu peraturan dimana kita harus juga menghormati hak asasi manusia yang juga dimiliki oleh orang lain, selain diri kita sendiri. Hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 28J ayat 1 dan ayat 2 UUD 1945. Menurut Wahiduddin, dalam UUD 1945, yakni Pasal 28G mengakui bahwa kehormatan, demikian pula martabat merupakan hak konstitusional dan oleh karenanya dilindungi oleh 28G ayat 1 UUD 1945 berbunyi, “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.” Sementara pada ayat 2-nya ditegaskan, “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.” Selain itu, sebagai bukti bahwa ajaran umum dalam hukum pidana maupun ketentuan konstitusi yang mengatur tentang jaminan dan perlindungan kehormatan atas diri sendiri merupakan norma hukum yang berlaku secara universal adalah Pasal 12 UDHR dan Pasal 17 ICCPR yang pada intinya juga mengatur norma yang sama. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa baik hukum nasional maupun hukum internasional menjamin hak setiap orang atas kehormatan atau nama baik. Untuk itu, penggunaan kebebasan atau hak setiap orang tidaklah dapat digunakan sedemikian rupa tanpa batas sehingga menyerang kehormatan atau nama baik seseorang, sebab hal tersebut juga bertentangan dengan UUD 1945 dan bertentangan dengan hukum internasional. * Penulis Utami Argawati Editor Lulu Anjarsari
wujud kebebasan berpendapat bagi seluruh rakyat indonesia tercermin dalam